Leicester 0-0 Arsenal: Eksperimen dan Komentar Wenger: 0

Selama mengarungi kiprah di perhelatan EPL, Leicester telah bertemu Arsenal sebanyak 20 kali. Dari seluruh laga itu mereka hanya mampu mendulang 9 poin, yang berarti sebanyak 17 laga mereka akhiri dengan menuai kekalahan. Musim lalu pun cuma Arsenal satu-satunya tim yang tidak mampu Leicester kalahkan baik di kandang maupun tandang.

Laga semakin menarik karena kedua klub adalah juara dan runner-up liga musim lalu, dan sama-sama menderita kekalahan di laga perdana musim 2016-17. Bak menabur garam di atas luka, Arsenal ditolak mentah-mentah oleh kedua pemain andalan mereka: Jamie Vardy dan Riyadh Mahrez.

Pada konferensi pers jelang laga, Wenger mengindikasikan bahwa Alexis-lah yang akan menjadi starter sebagai striker di laga ini. Jika itu saja telah menambah rasa frustasi, ia menambahi pernyataan dengan membandingkan striker Chile itu dengan Luis Suarez atau Srgio Aguero. Juga tentang sulitnya merekrut striker sambil membandingkan situasi Arsenal dengan Real Madrid yang juga tidak/belum merekrut striker (manakala: 1. skuat Madrid lima kali lebih kuat dan komplit dari Arsenal, dan 2. Madrid merekrut Alvaro Morata dari Juventus dengan mahar 30 juta euro). Hal yang sungguh mengusik Sabtu pagi saya:

He loves Giroud. Selain itu ia paham Giroud memiliki peran krusial dalam permainan Arsenal. Jika dulu ia sempat memainkan Walcott di tengah dengan harapan Walcott mau memperpanjang kontrak, diistirahatkannya Giroud adalah langkah untuk melindungi fisik pemain vital ini. Mungkin, Arsenal memang tengah mengupayakan untuk membeli seorang striker saat ini. Bisa jadi, ucapan di atas adalah cara dia sebagai antisipasi jika striker (yang entah siapa) ini gagal direkrut. Dan bila eksperimen sanchez sebagai striker tengah berhasil, ia bak mendulang bonus. Komentar-komentarnya ini membuat saya berpikir bahwa alih-alih memaksimalkan skuat yang ada secara taktikal, ia justru disibukkan dengan bagaimana membuat dalih demi dalih tentang kemandekannya di bursa transfer.

Menjadi mudah akhirnya bagi saya untuk memrediksi jajaran starting line-up pertandingan malam tadi. Satu-satunya yang saya gagal perkirakan adalah dipilihnya nama Holding ketimbang Chambers sebagai pendamping Koscielny.

Mari kita lihat bagaimana Sanchez kewalahan menjalankan peran Giroud.

heatmap alexis
Alexis heat map against Leicester (credit WhoScored)
alexispasses
(credit: StatsZone app) lihat bagaimana Alexis condong nyaman bergerak di sisi kiri

Untuk seseorang yang dihargai £32 juta, penampilan Alexis bersama Arsenal masih jauh dari kata memuaskan. Imajinasi liar kita kala membayangkan bagaimana Giroud didampingi Walcott dan Alexis di kedua sisi sayap untuk sementara belum menjadi kenyataan. Salah satu penyebabnya ya eksperimen-eksperimen seperti ini.

Kenapa Arsenal kerap kesulitan saat menghadapi tim-tim kecil? Karena sudah jadi rahasia umum jika memberi rongga pertahanan terlalu renggang di garis pertahanan mereka, Arsenal bisa dengan mudah melepas umpan penembus pertahanan untuk kemudian bola dikejar pemain-pemain seperti Walcott. Bahkan strategi ini juga dilakoni klub-klub besar. Saya ingat betul bagaimana Mancini pada 2010 menerapkan strategi ini sehingga membuahkan hasil 0-0 yang mana ia anggap sebagai hasil positif. Juga bagaimana Chelsea era Mourinho saat mereka bertandang di Emirates.

Giroud menjadi vital karena dua hal: fisik dan kerajinannya berduel dengan pemain lawan, serta kejeliannya mengirim umpan-umpan kecil sehingga pertahanan lawan mampu dikoyak. Maka ketika lawan mematok pertahanan begitu dalam, dua kapasitas Giroud ini menambah variasi penyerangan Arsenal.

Di dua grafik di atas kita bisa lihat bagaimana Alexis lebih sering beroperasi di kedua sisi sayap. It’s not a fucking rocket science. Berduel sepanjang laga dengan bek raksasa macam Wes Morgan atau Robert Huth sama dengan bunuh diri.

Anda membeli motor bebek matic untuk memudahkan kegiatan Anda. Beban bolak-balik kantor menembus kemacetan Jakarta akan terasa sedikit berkurang. Meskipun ini perihal selera, banyak teman saya yang beralih ke motor matic karena berkat teknologi terkini, motor matic sama hemat bensinnya dengan motor manual. Tak perlu juga menghiraukan harus gonta-ganti gigi. Tapi jika Anda seorang guru di daerah pegunungan terpencil dengan jalan rayanya yang terjal dan berbatu, tiada kata lain selain tolol jika Anda membeli motor matic.

Grafik di bawah layak menjadi kesimpulan betapa tak berhasilnya eksperimen Wenger:

Seperti halnya Walcott, Alexis sebagai penyerang tengah is a big no. Sepanjang laga kontra Liverpool ia cuma mampu melepaskan satu tembakan. Dia terisolasi di posisi ini. Kala peluit babak pertama ditiup, yang saya ingat adalah Alexis lebih banyak mengonfrontasi wasit Mark Clattenburg ketimbang mengonfrontasi pertahanan Leicester. Secara relatif, permainan Alexis menjadi buruk bukan karena ia tidak memiliki talenta, tapi bagaimana Wenger terlalu memaksakan ego sehingga seperti seseorang yang memaksakan menggunakan motor matic di pegunungan.

Kita melawan tim yang terkenal menjuarai EPL karena kesolidannya dalam bertahan dan melakukan serangan-serangan balik kilat, dan Koscielny beserta barisan pertahanan Arsenal seperti menyadarkan kita bahwa Vardy dan Mahrez harus melupakan penampilan ciamik mereka musim lalu. Lihat bagaimana Monreal berkali-kali membikin kecele Mahrez di sisi kiri. Lalu Rob Holding. Wow, kredit patut saya haturkan kepada Wenger (you have to give credit where credit is due) karena telah jeli merekrutnya. Holding begitu berani berinisiatif menghalau bola-bola lambung dengan merengsek maju ketimbang menunggu bola dan pemain lawan menghampirinya.

Diporak-poradakannya Arsenal minggu lalu oleh Liverpool seolah-olah terjadi di dunia paralel (ingat, dialah yang melanggar Coutinho hingga membuahkan tendangan bebas penyama kedudukan). Semalam Holding berhasil menorehkan 9 kali clearances, 5 kali memenangi duel udara (dari 7 kali percobaan), dan 2 kali memblok tendangan pemain Leicester. Saya bergairah untuk memantau sejauh mana perkembangan Holding setidaknya sampai paruh musim kedua.

Sampai berakhirnya babak pertama, catatan statistik di atas kertas mengesankan Arsenal mendominasi permainan dengan melepas 9 tembakan. Statistik menjadi tak impresif saat kita tahu bahwa 6 tembakan dilakukan dari luar kotak penalti; yang menandakan Arsenal kehilangan akal dalam membongkar rapatnya pertahanan Leicester.

Selain solidnya pertahanan Arsenal, kita juga dipertontonkan aksi kalem Granit Xhaka. Ia memang hanya sanggup mengintersepsi bola sebanyak 2 kali. Tapi keduanya terjadi di sepertiga akhir lapangan: ia piawai memotong aliran bola sebelum bola berpindah terlalu dalam ke area Arsenal. Ia pun hanya sekali melakukan pelanggaran (bandingkan dengan saat melawan Liverpool: main secuil menit, melakukan pelanggaran 5 kali dan satu kartu kuning). Kita juga dibuat terperanjat dengan tekel bersih dan wanginya terhadap Mahrez di menit ’24.

Lalu Wenger memutuskan untuk menggantinya. Padahal Coquelin-lah yang harus diganti. Bagaimana tidak? Permainan belum bergulir setengah jam ia sudah menuai kartu kuning. Arsenal was simply riding their luck. Sepakbola adalah permainan yang penuh bias dan sulit menilai reaksi objektif darinya. Jika posisi kita ditukar dengan Leicester City semalam, Anda bisa membayangkan bagaimana reaksi gooners di Twitter jika tak dianugerahi penalti sampai dua kali. Manakala insiden pertama (last-ditch tackle yang gurih nan legit dari Kos the Boss, yang kedua Arsenal murni beruntung karena Bellerin terlihat jelas mengganggu Musa dari belakang).

Kita mesti ingat, dengan kecepatan Mahrez dan Vardy, Leicester begitu cerdik mengincar ganjaran penalti di musim lalu. Bagaimana jika satu dari insiden ini membuahkan penalti, dan pelanggarnya adalah Coquelin sehingga ia terpaksa dikartumerahi Clattenburg? Membayangkannya saja saya sudah ngeri.

Ada satu pemain yang dengan gigih saya maki-maki musim lalu dan kini terlihat seperti ingin menghajar keraguan saya terhadapnya: Alex-Oxlade Chamberlain. Mungkin karena penampilan buruk musim lalu serta kegagalannya membela timnas Inggris pada Euro lalu, tak lagi terlihat kesembronoan Ox dalam bermain. Penyelesaian akhir dan decision making-nya terlihat matang (terutama dalam mengoper dan saat di mana harus melakukan take-on  atau tidak). Bila Wenger kembali memosisikan Alexis pada ‘khittah’nya — penyerang sayap, saya harap hal itu justru memacu Ox untuk tampil lebih baik lagi. Mengapa?  Karena sepanjang berkarir di Arsenal, alih-alih berperan sebagai pemeran utama, penampilan Ox cuma terlihat sebagai cameo.

Berbicara tentang cameo, tampilnya Wilshere cukup menyegarkan mata (karena efektivitas Ozil dan Giroud — meski tak berdampak positif — tak perlu diragukan lagi). Semoga, seperti Ox, ia mampu membuktikan kepada khalayak bahwa memang dialah yang pantas mewarisi nomor punggung Dennin Bergkamp.

***

Tiap klub memiliki khasanah tersendiri yang mungkin hanya dipahami fansnya masing-masing. Dalam kasus Arsenal, salah satu yang saya suka adalah istilah “goonercoaster.” Pengibaratan proses mendukung Arsenal bak menaiki wahana roller coaster: melambat, kemudian turun dengan terjal, untuk kemudian secara drastis kereta melaju membawa penumpang secara vertikal ke atas. Deg deg plas!

Tak perlu mengenang jauh-jauh. Di musim lalu pun Arsenal — dibantu pula dengan ketololan Sp*rs kala melawan Newcastle — mampu menyalip posisi Sp*rs sehingga momen sakral St. Totteringham’s Day tetap terayakan. Padahal skuat Sp*rs musim lalu digadang-gadang sebagai skuat terbaik mereka di era EPL. Skuat muda, sokongan pemain-pemain binaan akademi, serta manajer muda yang visioner secara taktik.

Jadi hasil 0-0 di laga kedua tak lagi membikin saya khawatir. Banyak hal positif yang bisa dikhidmati: mencuri poin di kandang lawan, atau tak ada pemain yang cedera.

Namun hal itu (lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, dan LAGI!) dinodai dengan komentar yang bernada kurang simpatik dari Wenger:

I’ll spend £300m if I find the player, but we are a club who have 600 employees so we need to have a responsible attitude as well.

Kita sama-sama tahu, mustahil ia mengeluarkan dana setinggi itu selain sebagai cara untuk mempertegas statement. Malah ditambah dengan merasa wajib memikirkan 600 pegawai yang bekerja untuk Arsenal. Dia pelatih atau manajer perusahaan? Mendengar komentar-komentarnya saat bursa transfer berlangsung terasa seperti terserimpung dalam labirin penuh kuntilanak dan genderuwo.

He is a one damn control freak. Jika tidak begitu bagaimana ia bisa menukangi klub hingga 2 dekade. Tapi komentarnya ini membuat saya justru menilai bahwa ia seolah-olah terlalu terbebani untuk mengurus neraca keuangan ketimbang memformulasikan strategi alternatif permainan timnya. Tak usah banyak-banyak. Pikirkan alternatif jitu untuk mengantisipasi ketidakhadiran Giroud (karena Walcott dan Alexis sebagai penyerang tengah dalam 4-2-3-1 terbukti tak efektif, sementara Welbeck masih dalam masa berlibur di ruang rehab).

Karena saat Wenger sibuk mencari-cari dalih tentang kegagalannya di bursa transfer (sambil membandingkan kondisi Arsenal dengan Madrid yang bak membandingkan akting Kristen Stewart dengan akting Diane Keaton), Sp*rs dengan santai namun jitu berhasil merekrut sosok Vincent Janssen, topskor liga Belanda musim lalu (27 gol) asal AZ Alkmaar yang baru berusia 22 tahun.

 

Tinggalkan Komentar: