Nicklas ‘Big Dane’ Bendtner adalah Sansa Stark versi dunia sepakbola

I'm young and pretty and don't need to work myself into a sweat
I’m young and pretty and don’t need to work myself into a sweat

Setiap manusia mempunyai perannya masing-masing di kehidupan. Kisah Nicklas Bendnter di Arsenal, apa boleh dikata, jauh dari kata memuaskan. Di tulisan ini saya mencoba membandingkan ‘nyanyian’ sepakbola Niki dengan tokoh fiksi dari Game of Thrones.

Perkenalkan. Sosok gadis di atas Sansa Stark, salah satu tokoh POV dalam serial Game of Thrones yang booming dua tahun belakangan. Kenapa saya menyamakannya dengan Nicklas Bendtner?

Tak kenal maka tak sayang. Untuk anda yang belum mengikuti serial ini dan berminat mulai menonton dari season pertama, jangan khawatir! Saya tidak akan membocorkan spoiler yang niscaya merusak elemen kejut saat menonton film/serial TV. Saya sendiri pun sebal jika diperlakukan begitu.

Sansa adalah putri dari Ned dan Catelyn Stark. Stark adalah nama klan/house terkemuka di dunia GoT yang menguasai belahan utara Westeros. Ayahnya, Ned, dahulu mempunyai sejarah kedekatan dengan raja Westeros, Robert Baratheon, dimana mereka bahu membahu menumpas penguasa sebelumnya. Atas jasa dan kesetiannya itu, Robert akhirnya memberi daerah kekuasaan untuk Ned. Tahun demi tahun silih berganti, tibalah di suatu hari saat Robert ingin memadukan kedua klan dalam wujud pernikahan, sementara raja mengangkat Ned sebagai tangan kanannya (perdana mentri). Raja mempunyai seorang putra bernama Joffrey, kecantikan Sansa sudah kesohor, plus, mereka sepantaran. Klop jadinya. Maka berangkatlah rombongan kerajaan ke Westeros guna melangsungkan rencana ini.

Ned mempunyai 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan) serta satu anak haram bernama Jon Snow (yang tetap ia pelihara dengan kasih sayang setara). Dalam dunia GoT, anda akan dihibur oleh perpaduan cerita antara faktor historis/budaya dengan buah karya dunia fiksi — dari naga, zombie sampai ilmu hitam, lengkap. Namanya kehidupan, intrik politik di GoT sangat keji. Penyatuan klan Stark-Baratheon tidak berjalan mulus karena adanya pengkhianatan yang dilakukan pihak klan Baratheon. Keluarga Stark bernasib tragis. Sansa berada di ibukota kerajaan, King’s Landings (karena ia setuju untuk dinikahi Joffrey), sementara semua anggota keluarganya terpencar. Mereka ditikam dari belakang oleh keluarga lain yang juga punya pengaruh besar di peta politik Westeros, Lannister.

Putra pertama Ned, Robb bersama sang ibu, mulai menyusun armada perang dan simpatisan untuk membalas dendam. Jon Snow, karena ia adalah anak haram (dalam GoT disebut ‘bastard’) memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai pengawal suci (mirip ksatria Jedi di dunia Star Wars) tembok raksasa yang memisahkan Westeros dengan dunia liar. Adik perempuannya yang tomboi, Arya, lari dari cengkraman Lannister dan luntang-lantung sambil menyimpan dendam. Sementara kedua adiknya yang lain Bran dan Rickon masih sangat kecil dan bernasib seperti Arya, lari dari kejaran Lannister siang dan malam ditemani dua pengawal setia.

Apa yang dilakukan Sansa? Tidak ada. Dia pasrah menjalani nasib sebagai ‘tawanan’ Lannister di ibukota. Awalnya akan sulit untuk membenci tokoh Sansa. Seperti yang anda lihat di atas, wajahnya ayu dengan rambut panjang terurai keemasan. Ia selalu mengenakan gaun bergelung-gelung dengan tatanan rambut aduhai. Sebagai ABG ia sedang mekar-mekarnya setelah mendapat haid pertama. Laku gerak dan tutur katanya surgawi wangi kasturi. Dia tahu keluarganya sedang berjuang dan menyusun rencana pembalasan dendam. Tapi alih-alih berusaha untuk melawan nasib, ia menghabiskan hari dengan meratap dan berdoa.

Mungkin dia terlalu naif sebagai bekas seorang putri. Menganggap kehidupan akan berjalan indah seperti di dongeng-dongeng; dengan kecantikan dan budi pekertinya berharap ada pangeran dengan jubah perak menunggang kuda putih datang untuk memersuntingnya.

Bangun, Sansa! Kamu berada di situasi konflik yang sangat pelik. Selama season 2 hingga 3 banyak sekali penonton yang mulai sebal oleh kelakuan Sansa yang begitu pasif menerima keadaan. Sementara keluarganya berjuang melawan maut, dari yang tertua hingga termuda.

Sansa sering duduk termangu di kamarnya di King’s Landings. Meski jadi tawanan, ia tetap mendapat perlakuan istimewa — mendapat hidangan makanan mewah tiga kali sehari serta satu pelayan khusus tak ubahnya anggota kerajaan.

Cantik tapi dibenci penonton. Penggemar GoT tentu kembali menemukan kehadirannya di season selanjutnya, karena betapa tidak? Tokoh seperti Sansa adalah jaminan mutu untuk mendapat rating lebih tinggi. Sosok yang bisa merebut sekaligus membelah perhatian pemirsa di rumah. Saya tidak tahu bagaimana nasib Sansa nantinya karena bukan pembaca novel yang menjadi sandaran serial ini.

Karakternya yang nrimo, padahal lahir dari keluarga pejuang, adalah sebuah anomali. Saya ingin ia berjuang menyelamatkan nasib keluar dari tawanan kerajaan. Hidup memang keras, dan satu-satunya cara untuk meraih kehidupan lebih baik adalah dengan melawan segala kesulitan dengan sekuat tenaga.

And here comes our man, THE GREATEST STRIKER IN THE WHOLE WIDE WORLD NICKLAS BENDTNER.

Bendtner hinggap dari Denmark ke Akademi Arsenal menjelang perpindahan klub dari Highbury ke Emirates. He’s big and strong, tipe striker murni yang bertugas gentayangan di kotak penalti menunggu umpan-umpang silang.

Dia menunjukkan potensi. Sebelum masuk ke dalam jajaran skuat pertama dia hanya semusim berkelana dipinjamkan ke klub lain. Bendtner diuntungkan oleh situasi krisis penyerang yang Arsenal alami selepas kepergian Thierry Henry dan Jose Antonio Reyes di musim 2007-08.

Klub saat itu dihuni oleh penyerang-penyerang muda dalam diri Robin van Pers*e, Emmanuel Adebayor, Eduardo da Silva dan Bendtner sendiri. Selain cenderung berusia muda, gerombolan striker ini mempunyai masalahnya masing-masing. Banyak sekali ‘what ifs’ yang kita gumamkan pada masing-masing sosok mereka. ‘What if Robin wasn’t an injury prone’, ‘what if Bendtner had some slick dribbling skill’, ‘what if Eduardo didn’t get a long injury’.

Sementara kondisi pada barisan gelandang begitu bertolak belakang. All of them was internationals. Ini membuat Wenger jadi sering merotasi struktur penyerang di tiap laga. Memang lebih sering ia menduetkan Eduardo dan Adebayor, tapi Bendtner tidak ragu untuk menyatakan kesiapan bersaing sebagai pilihan pertama kapanpun diturunkan.

Saat itu ia baru berusia 20 tahun. Kepercayaan dirinya yang begitu tinggi tidak mencerminkan usianya yang baru seumur jagung.

Disini letak masalahnya. Bendtner terlalu percaya diri. Sebenarnya memiliki rasa kepercayaan diri itu bagus untuk seorang pemain. Tapi pada kasus Bendtner, ini menjadi sebuah blunder. Mengutip lirik lagu dari Veruca Salt, “’cause I’m a bad man Bendtner/I do what I can/I’m Bendtner/I do what I can/ALL HAIL MEEEEE..!”

Musim lalu kita sering melihat Giroud melepas raut muka gelisah dan kecewa tiap kali gagal mengonversikan peluang menjadi gol. Anda takkan bisa menemukan ekspresi itu pada Bendtner. Jika tendangannya meleset 1000 meter dari gawang pun, niscaya ia tetap memasang raut wajah pongah dan jumawa.

Bendtner bersama Fabregas dan Walcott adalah sosok yang melambangkan semangat muda generasi baru Arsenal era Wenger. Fabregas mencerminkan keberhasilan klub membidik bakat asing, muda dan hebat dan merubahnya menjadi ‘world beater’. Sementara Walcott adalah cerminan dari usaha klub untuk tetap memertahankan tradisi memiliki bakat lokal dan meski jarang diturunkan, kerap melakukan aksi-aksi ajaib. Sementara Bendtner, there you have it! Adalah sosok yang, seperti Sansa, membuat pendapat dan dukungan fans terbelah.

Bagaimana mungkin Wenger menduetkan dua striker dengan tipe bermain hampir mirip, Adebayor dan Bendtner? Kenapa Wenger menempatkan Bendtner di sayap? Macam-macam. Tapi Bendtner, dengan penuh keyakinan menumpas keraguan suporter. Lihat saja torehan golnya. Di musim pertama bersama skuat inti (2007-08) ia mencetak 9 gol. Saat itu Adebayor berada pada masa keemasannya dengan 29 gol yang ia bukukan. Musim selanjutnya, Bendtner mengumpulkan 15 gol di semua ajang. Dan umur dia saat itu begitu muda.

Memori tentang Bendtner yang paling saya ingat selain perkelahiannya dengan Adebayor adalah kiprahnya sebagai super-sub di musim 2010-11.

Saat itu Arsenal kedatangan penyerang baru asal Maroko bernama Marouane Chamakh, dengan reputasinya sebagai topskor Ligue1 di Bordeaux. Dan ya, Chamakh menunjukkan potensi. Ia tak harus menunggu lama untuk mencetak gol demi gol bagi klub. Awal musim 2010-11 Arsenal mengalami krisis pemain. Cedera dialami oleh Vermaelen (1 musim penuh), Walcott, van Pers*e dan Fabregas. Khusus nama terakhir, tidak hanya cedera, tapi juga minat bermain yang semakin berkurang setelah memenangi Piala Dunia dan dielus-elus Barcelona agar pulang ke kampung halaman. Tapi musim itu Arsenal — awalnya — seperti tak terpengaruh oleh hal-hal tadi. Samir Nasri, Andrei Arshavin dan Chamakh unjuk gigi. Walcott pun mulai menunjukkan kematangan. Dan jangan lupa, kehadiran Jack Wilshere sebagai simbol baru klub. Bendtner mengawali 2010-11 dengan sedikit hambatan akibat cedera yang ia terima saat tampil di Pial Dunia. Ia baru kembali bermain pada 16 Oktober melawan Birmingham, dan, seminggu kemudian langsung mencetak gol saat Arsenal mengalahkan Manchester City 3-0. Silakan anda bayangkan jika Bendtner yang saat itu kita kenal tidak memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi.

Petaka bagi Chamakh, adalah saat van Pers*e kembali dari cedera dan mendulang gol demi gol untuk Arsenal. Tatkala menulis artikel ini saya menyambi dengan menonton DVD season review musim itu, dan, oh boy, betapa hebatnya Chamakh musim itu. Mencetak gol melalui sundulan, ia mampu. Menjebol gawang sambil ‘berdansa’ melewati kiper pun, ia sanggup.  Ia juga piawai dalam mengundang bek lawan untuk menjatuhkannya di kotak penalti — sehingga memberi benefit dengan hadiah tendangan 12 pas. Dan kembalinya van Pers*e memberi efek buruk pada Chamakh. Kolumnis taktik Arseblog, Arsenal Column, menemukan perbedaan pola bermain Chamakh paska kembalinya Rv* disini.

Jagoan kita, Bendtner, sepertinya tahu Rv* akan semakin menggila di musim 2011-12 dan dengan lantang memberitahu klub agar dipinjamkan saja ke klub lain. Sunderland, yang mengandalkan permainan umpan-umpan panjang dengan jeli melihat perkembangan situasi Bendtner dan mengajukan tawaran untuk meminjamnya.

The important thing for me every morning is to be happy

Yes, Bendtner. Ketika membuka mata di pagi hari yang ingin saya rasakan adalah kebahagiaan, bukan rasa gelisah karena mimpi buruk. Semua orang di dunia ingin bahagia, tapi dengan mengungkapkannya dengan gamblang sesaat bergabung dengan Sunderland mencerminkan sisi lain dari Bendtner: ego-sentris. Tipe orang yang mengangap dunia secara khusus dan khusyuk berputar untuknya.

Seakan tidak cukup baginya untuk mengungkapkan betapa pentingnya kebahagiaan yang harus dia rasakan tiap pagi, Bendtner terang-terangan memutus hubungan dengan Arsenal,

I will look for new clubs for next summer. I’m not interested in playing at Arsenal anymore. I am quite ready to play (for Sunderland) if I can get on my way.

Ia membuktikan perkataannya dengan menjadi topskor klub dengan torehan 8 gol serta 5 assist dalam 27 kali bermain. Tapi sebelumnya, saat kompetisi baru berjalan sebulan, ia menegaskan bahwa ia takkan bermain untuk Sunderland lepas masa pinjamnya berakhir. “Saya ingin bermain di level Liga Champions”, tukasnya.

Arogan sekaligus naif.

Persaingan di dunia sepakbola memang keras. Bendtner, andaikata tidak mewarnainya dengan serangkaian laku kontroversial niscaya tidak membutuhkan komentar-komentar tidak perlu untuk menarik minat klub untuk merekrutnya.

Walhasil kepercayaan Arsenal kepadanya pun mati rasa. Klub membiarkannya berlabuh ke Juventus — yang seperti hasratnya, bermain di Liga Champions. Namun apa yang dia dapat? Antonio Conte hanya memberinya kesempatan bermain di 8 laga dan ia tak mencetak satu gol pun untuk klub asal Turin tersebut.

Bendtner tergoda oleh gemintang selebritas pesepakbola di luar lapangan. Banyak sekali aksinya yang membuat pendukung mengelus dada. Kebut-kebutan, mabuk di klub malam (dan keluar dari tempat itu dengan celana melorot), aksi pamer celana dalam di Euro 2012 dan terakhir, ia diserang media Italia akibat terlalu serius menjalani kehidupan bak rockstar.

Ia kembali kebut-kebutan sampai ditilang polisi Italia. Ketika tiba saatnya waktu liburan, Bendtner menghabiskan waktu bersama sang pacar ke Las Vegas, bertemu Snoop Dogg dan mengupload foto pertemuannya ke Instagram dan Twitter sambil mengutip lirik yang menjabarkan rasa nikmat menghabiskan hari sambil menyesap ganja.

Saya mengernyitkan dahi, menyesal, sekaligus sebal. Pergi saja jika ingin pergi, karena gajinya yang senilai £50,000/pekan akan mengurangi beban klub dan bisa dialokasikan kepada pemain-pemain yang lebih pantas.

Bendtner saya pikir sedang tersesat. Fokusnya lebih banyak tercurahkan di luar lapangan. Dan ia, dengan gaya khas kembali mengeluarkan komentar ironis di media tentang banyaknya klub yang ingin meminangnya.

Penonton GoT, sambil memendam rasa sebal, akan tetap tertarik mengikuti kiprah Sansa Stark karena aktris pemerannya Sophie Turner adalah emerging talent, memikat dan berbakat. Bendtner, dahulu kala pernah mendapat cap ’emerging talent’. Bedanya, kita sudah sedemikian jengah dan berharap ia lekas saja pergi. Jika ia tak merubah perilaku dan motivasi di klub barunya nanti, saya berharap ada orang yang menamparnya keras-keras untuk bangun dari dunia mimpi.

Umurnya sudah 25. Masa dimana pesepakbola sedang mengalami kematangan. Saya dulu memendam harapan cukup tinggi padanya.

So long, Big Dane.

 

5 thoughts on “Nicklas ‘Big Dane’ Bendtner adalah Sansa Stark versi dunia sepakbola

  1. “saya dulu memendam harapan cukup tinggi padanya” , setuju sekali. Sayang banget arogansi sama keasikannya sama dunia selebritas ngebuat karir dia jalan ditempat, padahal dulu bendtner memenuhi syarat buat jadi striker top dunia.

    Oh ya Sanogo tuh udah resmi atau belum sih? ngeliat dia main di U-20 France keliatannya menjanjikan.

    Like

    1. sudah. Tapi baru bisa diumumkan per 1 Juli nanti, karena Arsenal ngedapetin dia ketika kontraknya dengan Auxerre habis. Baru bisa diresmikan ketika transfer window ‘resmi’ dibuka

      Like

  2. klo dari judul artikelnya sih mirip2 Big Tone, hehe
    sama2 merasa jago
    klo dari cara main sih, Big Tone udah kebuktian
    klo dari sisi manajerial?
    maka gak heran manajemen gak ngambil kedua2nya saat ini

    maaf agak OOT

    Like

Tinggalkan Komentar: