[repost] Situasi Malaga: Mungkin Mulanya Al-Thani Memandang Malaga Sebagai Shangri-La (bagian I)

*artikel ini pertama tayang di situs bolatotal.com pada 19 Agustus 2013. Awalnya diniatkan terdiri dari dua bagian. Namun sayang, di samping kesibukan saya (yang tentunya membuat waktu menonton La Liga semakin terbatas), situs bolatotal tutup lapak. Mungkin suatu saat tulisan ini akan saya lanjutkan, tentu dengan gaya, nuansa dan fakta-fakta yang berbeda, terkait rentang waktu yang terpaut jauh.

Dari private lounge di Paris, Abdullah bin Nasser Al-Thani gusar bukan kepalang. Sofa empuk bertatah kulit rusa tak sanggup membuat posisi duduknya nyaman. Berkali-kali ia menggelengkan kepala dan menggaruk rambut ala Mansyur S-nya yang sebenarnya tidak gatal. Pierre, sang pelayan, berulang kali dihardik untuk membawakan sesuatu. Hanya untuk bisa dihardiknya lebih pedas lagi.

Penyebabnya tak lain kekalahan menyakitkan Malaga atas Borussia Dortmund di perempatfinal Liga Champions. Keunggulan 2-1 di hampir sepanjang pertandingan menjadi musnah akibat dua gol cepat di injury time. Gol kemenangan Dortmund yang dicetak Felipe Santana terjadi di menit 93 dan berbau offside.

Al-Thani sontak meraih smartphone-nya dan – karena ia adalah sosok pria Arab modern – melampiaskan kekesalan melalui twitnya yang berbunyi,

Pelatih Malaga saat itu, Manuel Pellegrini, juga menyayangkan buruknya kinerja wasit yang merugikan mantan klub asuhannya tersebut:

There was no refereeing in the last seven minutes. Our players were being elbowed and pushed all over the places. Two of their players should have been given a red card and there was a double offside for their third goal.

Komentar Al-Thani membuat UEFA bertindak lewat sekjennya Gianni Infantino yang menegaskan akan mengadakan investigasi terkait serangan terbuka Al-Thani. Ini berarti hanya memantik bara permusuhan dengan UEFA yang telah tercipta setahun silam.

**

Jika anda penggemar La Liga yang terlalu sibuk menikmati Barcelona atau Real Madrid, UEFA menghukum Malaga terkait gaji pemain dan hutang transfer yang belum mereka bayar dengan larangan berlaga di seluruh ajang sepakbola di bawah naungan UEFA, baik Liga Champions dan Liga Eropa, mulai musim 2013-14. Ihwal penundakan gaji ini yang membuat Fernando Hierro, legenda Madrid yang menjabat direktur sepakbola, mengundurkan diri.

Pada Juli 2012, empat pemain inti Malaga, Ruud van Nistelrooy, Santi Cazorla, Jose Manuel Rondon dan Joris Mathijsen melakukan komplain kepada otoritas olahraga Spanyol terkait gaji yang tertunggak. Selain van Nistelrooy yang pensiun, sisanya kemudian dijual Malaga demi menunaikan kewajiban mereka.

Cazorla, setelah resmi berseragam Arsenal musim lalu berkomentar tentang situasi Malaga ini dengan gamblang: “What happened in Malaga was, in a sense, chaos. There were economic problems and a lot of uncertainty; we were waiting to see if the club would get out of trouble for us to be allowed in the Champions League. It was not immediately clear who was the boss at Malaga. The Sheik (owner Abdullah Al-Thani) was not at Malaga very much, and it was difficult to get an explanation of what was happening, there was no information. There was no one to explain what was happening, and when (former President) Hierro left, that was no one to talk to.

Beruntung Malaga ditangani Pellegrini, sang tukang insinyur yang didaulat menggantikan Jessualdo Ferreira ini setidaknya mampu sedikit mengangkat martabat Malaga di atas lapangan. Malaga, di musim debut Liga Champions mampu menekuk Zenit St. Petersburg 3-0. Setelah vonis UEFA dijatuhkan pun masih mampu membawa Saviola dan kawan-kawan mengalahkan Real Madrid 2-3.

Pellegrini mengoptimalkan peran Isco, pemain didikan Valencia yang uniknya mereka dapatkan dengan bandrol murah. Penampilan Isco sebagai trequartista handal tak ayal membuat Ia juga memoles kembali mesin tua macam Saviola, Joaquin, Martin Demichelis dan Jeremy Toulalan.

6b

Malaga adalah kota istimewa. Di sana Pablo Picasso lahir. Kota ini masuk dalam kawasan otonomi Andalusia, yang puluhan abad silam pernah dikuasai kaum Muslim. Hal yang (mungkin) membuat Al-Thani merasakan kedekatan historis dan psikologis.

Sebagaimana kawasan lain di mediterania, Malaga mengandalkan industri pariwisata untuk menunjang denyut nadi kota. Penguasa Saudi, Raja Fahd konon bisa menghabiskan 5 juta Euro per hari untuk menghabiskan waktu di Marbella, salah satu spot wisata hip di Malaga. Dan, ya, 5 juta Euro atau dalam kurs Rupiah bernilai Rp. 67,984,023,500 itu duit semua. Kota ini juga dikenal sebagai tempat para jutawan menghabiskan waktu bermain golf. Sambil tentu saja wara-wiri dari satu museum ke museum lain.

Malaga CF sendiri adalah klub yoyo. Seperti halnya Manchester City pra-2008 – yang juga diakuisisi saudagar Arab. Prestasi sepakbola mereka kalah jauh dibanding klub Andalusia lain seperti Sevilla dan Real Betis. Penikmat La Liga yang tidak familiar dengan Malaga adalah sebuah keniscayaan. Keadaan tersebut berubah saat dua hal penting terjadi secara berdekatan, yakni:

  1. Pencalonan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, dan
  2. Malaga mengalami kesulitan finansial dan presidennya, Fernando Sanz mulai menjajakan klub tersebut kepada para investor, hingga pada Juni 2010 secara resmi Abdullah mengakuisisi klub tersebut.

Ambisi Qatar untuk menjadi tuan rumah ajang empat tahunan tersebut menjadi satu lagi bukti niat mereka untuk mengeruk untung di ranah sepakbola. Sederhana saja, minyak bumi dan gas alam bisa habis. Ratusan hotel, sibuknya jalur penerbangan maskapai mereka dan Piala Dunia bisa menjadi alternatif bagi negara tersebut untuk tetap bermandikan logam emas.

Pariwisata sebagai andalan negara untuk mendulang devisa, sementara sepakbola – yang tidak hanya mereka sukai sepenuh hati, tapi juga tontonan favorit warga dunia – menjadi alat promosi efektif untuk menunjang sektor pariwisata tadi.

Pun Qatar tak seperti Arab Saudi, yang selain mempunyai sumber daya alam melimpah, juga berkawan cukup lama dengan Amerika dan tiap tahun mendapat suntikan dana dari jutaan peziarah muslim.

Abdullah Al-Thani adalah saudara jauh Emir Qatar, yang tak lain adalah presiden Paris St. Germain. Negara itu berperilaku seperti masyarakat Arab lazimnya di mana dari rahim siapa anda lahir sangat menentukan posisi politik dan ekonomi anda di masyarakat kelak. Dalam pengertian lebih sempit, masyarakat Qatar adalah sistem kesukuan yang diperluas. Abdullah tidak akan mampu menguasai Malaga jika tidak menyandang marga Al-Thani.

Hanya delapan hari setelah penobatan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia – melalui badan nirlabanya, Qatar Foundations – mereka mengikat kontrak dengan Barcelona senilai €170 juta selama 5 tahun sebagai sponsor di seragam klub tersebut. Keluarga inti bani Al-Thani telah menaruh kuasa di klub berpengaruh dunia Barcelona dan PSG (reputasi Paris sebagai jantung dunia tentu akan mendongkrak ‘brand value’ tersebut).

6c

Abdullah, yang berada di luar keluarga inti merasa pengakuisisian Malaga sebagai upaya tepat untuk mengikuti jejak saudaranya.

Namun berbeda dengan bani Mansour di Manchester City, pengakuisisian tersebut tidak diiringi dengan perencanaan matang. City, misalnya, berusaha sangat keras mendongkrak imej klub yang tadinya bukan apa-apa menjadi salah satu brand global. Salah satunya dengan meningkatkan kinerja tim digital branding mereka dimana City menjadi salah satu klub yang pertama kali menggratiskan semua video eksklusif klub di YouTube. Penetapan City sebagai klub terpilih pun terasa signifikan karena kepopuleran Mancchester United.

Abdullah juga tidak menyangka jika ternyata kuku Barcelona dan Real Madrid bisa sedemikan kuat menancap di sepakbola Spanyol. Malaga otomatis terkena imbas ketakmerataan pembagian uang kontrak televisi yang melanda La Liga. Timnas Spanyol boleh saja dominan di atas lapangan, tapi krisis keuangan telah merongrong mereka di level klub profesional selain dua raksasa La Liga karena lilitan hutang dan krisis ekonomi nasional.

Sebagai gambaran, diantara 6 klub teratas La Liga musim lalu, selain Barcelona dan Madrid hanya Real Sociedad klub yang tidak dibelit hutang. Tak heran jika setelah melepas Falcao pun Atletico Madrid masih diberitakan hendak melepas salah satu pemainnya, Diego Costa ke Liverpool. Atletico dikabarkan mempunyai beban hutang sekitar €180juta dan hasil penjualan Falcao lebih banyak menguntungkan pihak agen dan pihak ketiga yang memiliki pemain Kolombia tersebut (oleh sebab sistem third-party ownership).

Nasib buruk belum mau menjauh dari Abdullah dan Malaguistas. Pellegrini hijrah ke Manchester City. Kepindahan Isco, yang tampil gemilang bersama Spanyol di Euro U-21, ke Real Madrid memang tinggal menunggu waktu, salah satu yang bisa disyukuri manajemen klub adalah bahwa jauh sebelum proses transfer itu berlangsung, pihak klub sudah memerbaiki kontrak Isco – sehingga bisa mendulang laba lebih banyak.

Berturut-turut pemain kunci mereka hijrah dari De La Rosaleda: duet sayap tua namun lincah Joaquin Sanchez-Saviola, Julio Baptista, Manuel Iturra, Martin Demichelis hingga Jeremy Toulalan.

Ironis, di saat media dan para penggemar mulai meragukan keseriusan Abdullah berinvestasi di klub, ia malah mendemonstrasikan mental denial: keadaan dimana individu menyangkal fakta-fakta (biasanya menyakitkan atau tak sesuai harapan) yang dengan gamblang sedang dihadapi Malaga.

Cazorla tidak salah jika menyebut adanya ketidakterusterangan sang pemimpin terkait kondisi klub yang karut marut. Pernyataan  Abdullah tadi sama konyolnya dengan menuduh kekalahan Malaga atas Dortmund sebagai tindakan rasis UEFA terhadap klub dan dirinya.

Hingga kini, Malaga terus saja kehilangan pemain-pemain kuncinya. Bahkan, selain kepindahan Isco dan Toulalan, para pemain yang dilepas itu dibanderol gratis. Disinyalir hal itu Malaga lakukan  guna memperlonggar anggaran gaji tahunan. Kini, mereka menyisakan Willy Caballero, Francisco Portillo, Ignacio Camacho, Eliseu dan Roque Santa Cruz – yang akhirnya status peminjamannya dari City dipermanenkan – sebagai punggawa tim.

 **

Rumor berkembang Abdullah sudah tak lagi mengucurkan dana untuk Malaga. Direktur umum mereka, Vicente Casado (sosok pengganti Hierro yang sebelumnya lebih banyak berkutat di aspek bisnis klub tersebut) dengan tegas menyanggah spekulasi tersebut:

 ..the owner will continue to invest in the club. I’m very optimistic about the future of this entity. One of the owner’s representatives is here in his office every day, highlighting his continued interest in the club.

Abdullah tak melihat potensi sepakbola dan pariwisata Malaga sebagai Eldorado; kota fiktif di hikayat Western yang mempunyai cadangan emas melimpah. Abdullah memandang Malaga seperti Shangri-La – sebuah kawasan utopia dari novel Lost Horizon karya James Hilton.

Shangri-La adalah surga di bumi. Atau dalam pendekatan masyarakat barat: simbolisasi eskapisme warga dunia pertama ke kawasan eksotis negara-negara dunia ketiga. Tempat-tempat yang menyajikan wawasan dan pengalaman relijius-humanis sambil tetap menawarkan keindahan hayati khas wilayah tropis.

Masyarakat barat telah puluhan tahun melakukan ‘pencarian’ ini. Tak sedikit dari mereka yang telah ‘menyelami’ Nepal, Tibet, Mumbai hingga Bali.

Abdullah memandang Malaga mempunyai karakteristik surga dunia rekaan novelis Inggris tersebut. Dalam Lost Horizon, fokus cerita berkutat pada pengalaman Hugh Conway, duta besar Inggris di Afghanistan yang terdampar di suatu daerah bernama Shangri-la di Tibet saat hendak mengungsi dari pergolakan politik.

Di kawasan tersebut, Conway, bersama tiga penumpang lainnya mendapati sebuah kawasan yang mendekati definisi surga yang lepas dari tatanan resmi kenegaraan. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan gelar “Lama”. Karena beberapa faktor pribadi, mereka justru betah tinggal di tempat tersebut. Meski terpencil, tempat itu memiliki seni budaya tinggi dan mengenal perabotan modern – dari piano hingga bak mandi merk terkenal – yang mustahil mereka akses.

Pada akhirnya di penghujung cerita, Conway ditemukan dirawat dalam keadaan amnesia di sebuah rumah sakit di China. Seorang perawat mengatakan bahwa Conway diantar oleh seorang wanita dalam keadaan tua yang tak lazim (sangat, sangat tua). Benar atau tidak pengalaman yang Conway ceritakan pada penutur cerita, hanya Conway yang tahu. Pembaca boleh memilih untuk memercayai atau tidak kebenaran cerita Conway.

Kisah Abdullah bersama Malaga hampir berakhir seperti kisah Conway di Shangri-La, di mana ia mulanya menganggap sedang mengalami kebahagiaan di tempat yang jauh dari negeri asalnya. Bedanya, dalam kasus Abdullah ada banyak pihak yang dibuat menderita.

Pihak tersebut tentu saja para penggemar Malaga.

***

Tinggalkan Komentar: